Inilah Alasan Mengapa Jepang Terobsesi dengan Robot!
Jepang, tanah matahari terbit, bukan hanya terkenal dengan keindahan alamnya dan teknologi canggihnya, tetapi juga dikenal sebagai negara yang memiliki obsesi yang unik terhadap robot. Fenomena ini telah terjadi selama beberapa dekade, dan beberapa alasan mendasar dapat menjelaskan mengapa Jepang begitu terobsesi dengan kehadiran robot dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Bagaimana Perkembangan Robot di Jepang?
Perkembangan robot di Jepang telah menjadi bagian integral dari revolusi teknologi di negara ini. Sejak beberapa dekade yang lalu, Jepang telah memimpin dalam inovasi dan pengembangan teknologi robotika. Industri ini didorong oleh kombinasi faktor seperti warisan budaya yang mendorong penerimaan terhadap robot sebagai entitas dengan jiwa, mitologi yang mengeksplorasi makhluk buatan, dan budaya populer yang sering kali memasukkan cerita-cerita robotika. Jepang juga menghadapi tantangan demografis, seperti penuaan penduduk dan kurangnya tenaga kerja muda, sehingga inovasi robotika diarahkan untuk mengatasi kebutuhan tersebut.
Budaya “kawaii” atau desain yang imut dan ramah sangat memengaruhi pengembangan robot di Jepang, membuatnya lebih diterima oleh masyarakat. Selain itu, Jepang aktif menginvestasikan sumber daya dalam riset dan pengembangan robot untuk aplikasi praktis, seperti dalam situasi darurat dan bencana alam. Robot pencarian dan penyelamatan menjadi bagian penting dari strategi penanganan darurat.
Penting untuk dicatat bahwa Jepang tidak hanya fokus pada pengembangan robot untuk tujuan industri, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Robot asisten pribadi yang ramah, seperti robot yang membantu dalam tugas-tugas rumah tangga, merawat orang tua, atau memberikan teman kepada individu yang kesepian, menjadi bagian dari upaya menghadirkan solusi inovatif dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan inovasi terus-menerus dalam bidang robotika, Jepang tetap menjadi pemimpin global dalam pengembangan teknologi ini. Pemerintah, universitas, dan perusahaan swasta bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung riset dan pengembangan, memastikan bahwa robot akan terus berperan penting dalam perkembangan masyarakat dan teknologi di Jepang.
Alasan Mengapa Jepang Terobsesi dengan Robot
1. Benda Sehari-Hari
Benda sehari-hari di Jepang memiliki hubungan yang unik dengan agama asli mereka, yaitu Shinto. Beberapa pengamat perilaku masyarakat Jepang mencatat bahwa kecintaan pada robot bisa ditarik kembali ke konsep animisme dalam Shinto, di mana roh atau ‘Kami' dihubungkan tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada hewan, elemen alam, dan bahkan objek mati seperti pensil.
Dalam pandangan Shinto, semua hal dianggap memiliki sedikit jiwa, dan tidak ada pemisahan tegas antara manusia, hewan, dan objek. Oleh karena itu, tidak terasa aneh bagi masyarakat Jepang jika robot menunjukkan perilaku yang menyerupai manusia, karena mereka hanya mengekspresikan jenis ‘Kami' yang berbeda.
Pandangan ini bertentangan dengan tradisi animisme Barat. Sementara orang Yunani Kuno melihat roh di tempat-tempat alami, mereka masih memisahkan jiwa dan pikiran manusia dari alam. Tradisi agama-agama Abrahamik kemudian menempatkan manusia pada posisi lebih tinggi, sebagai ciptaan Tuhan yang paling besar. Sebaliknya, agama-agama ini mengingatkan manusia untuk tidak terlalu memuja benda-benda atau mendekati penyembahan berhala, sebagai bentuk dosa yang diharamkan.
Di Islam, khususnya, penyembahan berhala dan pembuatan gambar manusia atau binatang dilarang secara tegas. Sementara di Jepang, animisme Shinto terus memengaruhi cara masyarakat melihat dan berinteraksi dengan benda-benda sehari-hari, termasuk robot, sebagai manifestasi dari ‘Kami' yang ada di segala hal. Ini menciptakan pandangan unik tentang teknologi dan memberikan landasan budaya bagi kecintaan Jepang pada robot.
2. Jangan Main-Main Dengan Alam
“Pesan penting yang tersemat dalam tradisi Barat adalah bahwa kita tidak boleh main-main dengan alam.” Menurut perspektif tradisional Barat, penciptaan mesin yang dapat bertindak dan meniru manusia dianggap sebagai suatu bentuk pelanggaran terhadap batas-batas alam, yang menggabungkan yang sakral dan yang tercemar.
Dalam mitos modern seperti Frankenstein, yang diambil banyak pesan moralnya dari Alkitab, tergambar dengan jelas peringatan etis terhadap eksperimen yang mencoba meniru kekuatan Tuhan. Frankenstein menciptakan makhluk hidup lain, mencerminkan dosa asal ketika manusia makan dari pohon pengetahuan di Eden, sehingga dihukum. Christopher Simons, seorang profesor budaya komparatif di International Christian University di Tokyo, menjelaskan bahwa pesan yang terkandung dalam kisah tragis ini adalah peringatan bagi manusia untuk tidak mengambil peran Tuhan.
Dalam drama Ceko tahun 1920 berjudul “RUR,” yang memperkenalkan kata “robot,” tema-tema keagamaan mendominasi cerita tersebut. Dalam konteks ini, satu karakter menciptakan android untuk membuktikan ketiadaan Tuhan, sementara karakter lain berpendapat bahwa robot juga harus memiliki jiwa. Kehadiran dua robot yang jatuh cinta bahkan diberi nama “Adam dan Hawa,” menciptakan analogi dengan kisah penciptaan dalam Alkitab.
Namun, akhir cerita memberikan peringatan yang mengejutkan. Robot akhirnya memberontak dan membunuh seluruh manusia, kecuali satu individu. Ini mencerminkan dampak buruk yang dapat terjadi ketika manusia mencoba memanipulasi alam dan menciptakan sesuatu yang melebihi kebijaksanaan dan kendali mereka. Seiring dengan perkembangan teknologi, cerita-cerita seperti ini menjadi peringatan agar manusia berhati-hati dan memahami batasan etika dalam eksplorasi kekuatan menciptakan kehidupan.
3. Penggerak Industri
Pandangan positif Jepang terhadap teknologi, khususnya robot, dapat dijelaskan lebih lanjut dengan melihat faktor-faktor sosial ekonomi dan sejarah, yang lebih mendalam daripada landasan agama dan filosofis. Pasca-Perang Dunia Kedua, Jepang mengalami perubahan drastis dalam upayanya untuk membangun kembali ekonominya dan memperbarui citra nasionalnya.
Sejarawan seperti Martin Rathmann, sarjana Jepang di Universitas Siegen di Jerman, menekankan peran sentral robot industri dalam kebangkitan ekonomi Jepang pada tahun 60-an. Dalam menghadapi kekurangan tenaga kerja, Jepang memilih untuk mengadopsi otomatisasi melalui robotika sebagai solusi, daripada melonggarkan kebijakan imigrasi yang ketat. Dengan mengotomatisasi lini manufakturnya, Jepang tidak hanya meningkatkan efisiensi dan produksi dalam negeri tetapi juga menjadi pemimpin dalam ekspor robot industri ke negara-negara lain.
Transisi dari robot industri fungsional ke robot humanoid juga menggambarkan bagaimana sejarah Jepang membentuk persepsi terhadap teknologi ini. Pada abad ke-17, penguasa militer Jepang melarang penggunaan teknologi untuk mengembangkan senjata baru, bertujuan untuk mencegah munculnya saingan baru. Sebagai hasilnya, pengerajin Jepang fokus pada kreasi yang lebih aman, seperti boneka mekanis yang tampil di teater atau robot yang menyajikan teh. Ini mencerminkan kecenderungan untuk mengarahkan teknologi ke arah yang tidak hanya inovatif tetapi juga tidak berbahaya, sesuai dengan tradisi sejarah Jepang.
Dengan demikian, pengembangan positif terhadap teknologi dan robot di Jepang tidak hanya diarahkan oleh faktor ekonomi tetapi juga oleh warisan sejarah yang menginspirasi pendekatan kreatif terhadap inovasi teknologi.
4. Jurang Luar Biasa
Meskipun proto-robot di Jepang terasa ketinggalan selama gelombang modernisasi cepat pada abad ke-20, gagasan tentang makhluk mekanis sebagai bentuk hiburan mungkin masih melekat dalam kesadaran nasional.
Masahiro Mori, seorang pemikir robotika terkemuka yang menciptakan istilah “jurang luar biasa,” menghadapi ketidakpercayaan saat pertama kali memulai penelitiannya pada tahun 1970-an. Pada waktu itu, konsep penelitian robot dianggap sebagai hal yang remeh dan dianggap sebagai “mainan sembrono” oleh sebagian orang.
Paska-Perang Dunia II, Jepang menjalani proses demiliterisasi yang dipaksakan oleh pendudukan Amerika, dan negara ini secara resmi menolak menggunakan robot sebagai alat militer. Pandangan positif ini terhadap robot tumbuh seiring dengan keuntungan ekonomi yang besar dari otomasi industri dan persepsi robot humanoid sebagai keingintahuan yang tidak berbahaya.
Di Barat, pandangan terhadap robot cenderung kurang optimis. Amerika Serikat, terlibat dalam Perang Dingin, mengalokasikan dana besar untuk riset robotika militer, yang menciptakan aura ancaman di bidang tersebut. Pandangan skeptis terhadap otomatisasi juga telah lama melekat di Barat, terutama karena pekerja dianggap menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan sejak gerakan Luddites menghancurkan mesin tekstil di Inggris pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Jurang persepsi ini antara Jepang dan Barat mencerminkan kompleksitas pandangan terhadap robot, yang dipengaruhi oleh konteks sejarah, kebutuhan ekonomi, dan pengalaman masyarakat terkait dengan teknologi otomatisasi. Meskipun di satu sisi robot dianggap sebagai keajaiban teknologi yang membawa kemajuan ekonomi dan hiburan, di sisi lain, mereka menimbulkan ketidakpastian dan perasaan ancaman terutama di Barat.
5. Citra Negatif Barat Akan Robot
Barat telah menjadi narator kisah-kisah robot yang tidak hanya positif, tetapi juga sangat berpengaruh dalam membentuk citra negatif terhadap teknologi ini. Salah satu contoh paling mencolok adalah dalam film “2001: A Space Odyssey” di mana sistem komputer cerdas bernama “Hal” kehilangan kendali dan membunuh beberapa awak pesawat ruang angkasa yang dia kendalikan. Kisah ini menyoroti ketakutan akan kehilangan kendali dan dampak negatif dari kecerdasan buatan yang tidak terkendali.
Dalam novel yang diadaptasi menjadi film “Blade Runner” berjudul “Do Androids Dream of Electric Sheep?”, android yang sangat meyakinkan memberontak melawan perbudakan mereka dan akhirnya dikejar serta dibunuh. Seri Terminator, dengan kecerdasan buatan dalam bentuk jaringan komputer SkyNet yang mencapai kesadaran diri, memberikan gambaran lebih ekstrem tentang ancaman robot terhadap kemanusiaan. Dalam kisah ini, android yang dikenal sebagai Terminator diutus untuk berperang melawan manusia, menciptakan ketakutan akan revolusi robot yang dapat merugikan manusia.
Citra negatif ini mencerminkan ketakutan yang terus menerus di Barat terhadap implikasi etis dan moral dari kemajuan teknologi. Banyak karya fiksi ilmiah Barat memberikan peringatan moral yang serupa dengan kisah-kisah klasik seperti Frankenstein dan RUR, menyoroti risiko dari menciptakan kehidupan buatan dan pertanyaan filosofis tentang apakah makhluk buatan manusia dapat memiliki jiwa. Kesadaran akan batasan dan risiko teknologi robotik tetap menjadi tema sentral dalam naratif Barat, mengingatkan akan konsekuensi dari pengejaran tak terbatas dalam menciptakan kecerdasan buatan yang semakin canggih.
6. Kekurangan Tenaga Kerja
Jepang, yang relatif kurang terpengaruh oleh kekhawatiran akan pemberontakan robot, secara aktif mencari solusi robotik untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja yang semakin parah dan mengelola tugas-tugas seperti perawatan populasi lansia yang tumbuh pesat di negara itu. Namun, meskipun Astro Boy telah membangkitkan antusiasme Jepang terhadap ide robot, dampaknya mungkin juga menciptakan ambivalensi dan ketidaksesuaian dengan kenyataan praktik robotika saat ini.
Menurut Martin Rathmann, orang Jepang mengalami “sindrom Astro Boy,” di mana mereka cenderung membayangkan robot humanoid sebagai entitas cerdas, fleksibel, dan kuat. Namun, dalam konteks teknologi yang tersedia saat ini, seperti pengembangan robot perawatan lansia, fokusnya lebih pada kegunaan yang praktis dan sederhana daripada kesan visual yang menonjol tetapi mahal dan tidak praktis.
Dalam upaya memahami kebutuhan praktis masyarakat, insinyur robot Jepang cenderung fokus pada solusi yang dapat memberikan manfaat langsung dan efektif, termasuk perangkat robot yang memudahkan perawatan lansia. Meskipun Astro Boy memberikan visi optimis tentang masa depan robot di Jepang, kenyataannya adalah bahwa fasilitas perawatan di negara ini masih didominasi oleh sentuhan manusia.
Peneliti Marketta Niemela mencatat bahwa, dalam perjalanan di Jepang, fasilitas perawatan umumnya tidak sepenuhnya mengadopsi perangkat robot. Sentuhan manusia tetap dihargai sebagai unsur yang tak tergantikan. Dengan demikian, walaupun optimisme tentang robot tetap ada, masyarakat Jepang mungkin masih lebih memilih agar kebutuhan manusia mereka ditangani oleh sesama manusia, setidaknya untuk saat ini. Maka dari itu, sementara harapan tetap tinggi, implementasi robot dalam situasi kehidupan nyata di Jepang saat ini masih dianggap sebagai tantangan yang harus diatasi.
Dengan demikian, walaupun harapan tentang peran robot dalam masyarakat tetap tinggi, implementasinya di Jepang masih terbatas oleh tantangan nyata, dan sentimen positif terhadap robot belum sepenuhnya terwujud dalam kehidupan sehari-hari.