Sejarah Perjalanan Mata Uang Indonesia dari Masa ke Masa
Mata uang Indonesia adalah rupiah, yang telah menjadi alat pembayaran yang sah di negara Indonesia sejak kemerdekaannya pada tahun 1945. Rupiah merupakan mata uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan digunakan secara luas di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Meskipun rupiah telah mengalami beberapa perubahan dalam denominasi dan desain, namun nilai rupiah terus menguat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Seiring dengan perkembangan ekonomi dan globalisasi, rupiah menjadi semakin penting di pasar keuangan global. Rupiah saat ini diperdagangkan di pasar valuta asing (valas) bersama dengan mata uang utama dunia seperti dolar AS, euro, yen, dan poundsterling. Rupiah juga menjadi alat pembayaran yang diterima secara internasional di beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, meskipun rupiah telah menjadi mata uang yang penting bagi ekonomi Indonesia dan perdagangan internasional, masih banyak tantangan yang dihadapi dalam menjaga stabilitas nilai rupiah dan menghadapi persaingan di pasar global.
1. Menggunakan Bermacam Metode Pembayaran (Tahun 800-1600)
Pada masa sebelum keberadaan negara Indonesia, masyarakat menggunakan berbagai metode pembayaran yang berbeda-beda. Pada abad ke-8 hingga abad ke-10, masyarakat di wilayah Indonesia menggunakan uang perak dari Kekaisaran Sriwijaya yang dikenal dengan sebutan “rupang”. Selain itu, ada juga bentuk uang perak dari Kerajaan Medang yang disebut dengan “akce”. Kemudian, pada abad ke-14, Majapahit mulai menggunakan uang dari tembaga dan emas yang dikenal sebagai “gobog”.
Pada abad ke-16, pedagang asing yang datang ke Indonesia membawa kebiasaan menggunakan koin. Koin-koin tersebut berbahan dasar perak, tembaga, atau emas dengan berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda. Selain koin, pada masa itu juga sudah ada penggunaan uang kertas yang diterbitkan oleh pemerintah lokal dan pedagang asing, seperti Portugis dan Belanda. Uang kertas ini juga berbentuk beragam dengan nilai yang berbeda-beda. Di masa penjajahan Belanda, mereka mengeluarkan uang logam dan kertas dengan gambar Ratu Wilhelmina sebagai tanda kekuasaan mereka atas wilayah Indonesia.
2. Mata Uang kolonial Belanda (Tahun 1600-1942)
Pada tahun 1602, Belanda mendirikan perusahaan dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia. Perusahaan ini kemudian menguasai sebagian besar perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Dalam rangka mempermudah transaksi dagang, VOC kemudian menciptakan mata uang sendiri yang dikenal dengan nama “rijksdaalder“. Mata uang ini kemudian digunakan oleh Belanda selama berabad-abad di Indonesia.
Pada tahun 1821, pemerintah Hindia Belanda menciptakan mata uang baru yang disebut “Gulden” untuk digunakan di seluruh wilayah Hindia Belanda. Mata uang ini terbuat dari perak dan memiliki nilai yang sama dengan mata uang Belanda. Gulden kemudian menjadi mata uang resmi Indonesia hingga tahun 1942 ketika Jepang berhasil menguasai Indonesia dan menggantikan Gulden dengan mata uang baru bernama “Roepiah”.
3. Di Bawah Masa Penjajahan Jepang (Tahun 1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang, mata uang yang digunakan di Indonesia berubah. Pada tahun 1942, Jepang memperkenalkan mata uang baru yang dikenal sebagai ‘gulden‘ atau ‘gulden Jepang'. Mata uang ini dicetak di Surabaya dan memiliki denominasi yang sama dengan gulden Belanda yang sebelumnya digunakan, yaitu 1, 2 1/2, 5, 10, dan 100 gulden. Namun, gulden Jepang memiliki gambar dan huruf Jepang yang berbeda.
Pada tahun 1944, Jepang kembali memperkenalkan mata uang baru yang disebut ‘romusha goku'. Mata uang ini diberi nama berdasarkan pekerja paksa yang dipaksa oleh Jepang untuk bekerja di Indonesia. Mata uang ini terbuat dari kertas koran bekas dan memiliki nilai rendah. Romusha goku digunakan sebagai mata uang kecil dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan gulden Jepang digunakan untuk transaksi besar. Namun, inflasi yang tinggi dan kekurangan pasokan kertas membuat gulden Jepang menjadi semakin tidak berharga.
Setelah Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, penggunaan gulden Jepang dan romusha goku dihentikan. Pemerintah Indonesia yang baru memperkenalkan mata uang baru, yaitu ‘rupiah', yang pertama kali dicetak pada tahun 1945. Rupiah memiliki denominasi yang sama dengan gulden Jepang, yaitu 1, 5, 10, 25, 50, dan 100 rupiah. Awalnya, rupiah dicetak oleh pemerintah Indonesia di Yogyakarta dan Surakarta menggunakan mesin cetak bekas milik Belanda dan Jepang. Namun, pada tahun 1950, pemerintah Indonesia membeli mesin cetak baru dari AS dan Inggris untuk mencetak rupiah.
4. Gulden NICA
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Belanda mencoba untuk merebut kembali kendali atas wilayah Indonesia. Pada tahun 1946, Belanda mendirikan NICA (Nederlandsch-Indische Civil Administratie) sebagai pemerintahan sipil mereka di Indonesia. NICA mengeluarkan mata uang Gulden NICA sebagai alat pembayaran yang beredar di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Namun, upaya Belanda untuk merebut kembali Indonesia ditentang oleh rakyat Indonesia, dan terjadi perang kemerdekaan selama beberapa tahun. Akhirnya, pada tahun 1949, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia dan menyerahkan kendali pemerintahan kepada Indonesia. Setelah itu, Indonesia mulai menggunakan mata uang sendiri yang bernama Rupiah. Meskipun demikian, Gulden NICA masih dapat ditemukan dan digunakan oleh kolektor atau orang-orang yang tertarik dengan sejarah ekonomi Indonesia.
5. Mata Uang Rupiah (1945)
Pada tahun 1945, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, pemerintah Indonesia mulai mencetak uang rupiah. Pada awalnya, uang yang dicetak masih menggunakan model uang Hindia Belanda dengan tambahan cap Garuda Pancasila yang menjadi simbol Indonesia. Kemudian, pada tahun 1946, dikeluarkan uang rupiah pertama yang sepenuhnya bertuliskan “Republik Indonesia” dengan presiden pertama, Soekarno, yang menandatangani nya.
Namun, masa peralihan dari kolonialisme ke negara merdeka tidak berjalan mulus, terutama dalam hal pengelolaan keuangan dan ekonomi. Saat itu, otoritas moneter Belanda masih berlaku di Indonesia, dan mereka mengeluarkan mata uang gulden NICA (Nederlands-Indische gulden) yang tidak diakui oleh Indonesia. Oleh karena itu, terdapat dua sistem mata uang yang berjalan paralel di Indonesia, yaitu mata uang rupiah dan gulden NICA. Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia berhasil mengambil alih otoritas moneter dari Belanda dan mulai mengeluarkan uang rupiah yang menjadi satu-satunya mata uang sah di Indonesia hingga saat ini.
6. Terjadinya Inflasi (Tahun 1965-1991)
Pada tahun 1965 hingga 1991, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi. Inflasi yang terjadi pada tahun 1965-1966 disebabkan oleh krisis moneter akibat dari pengumuman kebijakan konfrontasi oleh Presiden Soekarno yang menyebabkan pelarangan ekspor ke Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kekurangan devisa dan terjadinya defisit anggaran yang berdampak pada inflasi.
Pada masa pemerintahan Soeharto, kebijakan pembangunan ekonomi yang diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur dan industri menimbulkan kebutuhan dana yang besar. Untuk membiayai kebijakan tersebut, pemerintah melakukan pembiayaan dengan cara mencetak uang. Selain itu, terjadinya kenaikan harga minyak dunia pada tahun 1973 dan 1979 juga memberikan dampak buruk pada perekonomian Indonesia. Kebijakan subsidi BBM yang diambil oleh pemerintah untuk menstabilkan harga juga memberikan dampak buruk pada inflasi karena pengeluaran negara yang semakin besar.
Inflasi pada masa tersebut mencapai angka yang sangat tinggi, bahkan mencapai ratusan persen per tahun. Hal ini membuat nilai rupiah semakin merosot dan terjadi penurunan daya beli masyarakat. Upaya pemerintah untuk menstabilkan inflasi dilakukan dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan pengeluaran pemerintah, dan menekan jumlah uang yang beredar. Meskipun upaya tersebut memberikan hasil positif pada awalnya, namun inflasi yang terus menerus menjadi masalah yang sulit untuk diatasi.
7. Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi (Tahun 1992-1999)
Pada awal 1990-an, ekonomi Indonesia tumbuh dengan pesat, dan nilai tukar rupiah stabil di sekitar Rp 2.000 per dolar AS. Namun, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengguncang perekonomian Indonesia dan mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok secara drastis. Pada Agustus 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga mencapai Rp 2.700 per dolar AS.
Selama periode ini, pemerintah Indonesia mencoba untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil dengan membeli rupiah dengan cadangan devisa negara. Namun, usaha tersebut tidak berhasil dan nilai tukar rupiah terus jatuh. Pada Januari 1998, nilai tukar rupiah mencapai rekor terendah sebesar Rp 17.000 per dolar AS.
Setelah krisis ekonomi, pemerintah Indonesia melakukan reformasi ekonomi dan meluncurkan program-program stabilisasi ekonomi. Pada tahun 1999, pemerintah memperkenalkan “Bank Indonesia Liquidity Support” (BLS) dan “Indonesia Bank Restructuring Agency” (IBRA) untuk membantu memperbaiki kondisi perbankan dan keuangan Indonesia. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berhasil dipulihkan, meskipun masih berfluktuasi secara periodik hingga saat ini.
8. Uang Kertas Pecahan 100 dan 500 Dihentikan (Tahun 2000-2005)
Pada tahun 2016, Bank Indonesia mengumumkan rencana untuk menghentikan produksi dan sirkulasi uang kertas pecahan 100 dan 500 rupiah. Keputusan ini diambil karena dua alasan utama: pertama, uang kertas pecahan 100 dan 500 sudah tidak lagi digunakan secara luas dalam transaksi sehari-hari, dan kedua, untuk mengurangi risiko pemalsuan uang. Sebagai gantinya, Bank Indonesia memperkenalkan uang kertas pecahan 1.000, 2.000, 10.000, 20.000, 50.000, dan 100.000 rupiah yang memiliki fitur keamanan yang lebih baik dan juga lebih praktis dalam penggunaannya.
Meskipun demikian, penghentian uang kertas pecahan 100 dan 500 juga menimbulkan beberapa kekhawatiran dan ketidaknyamanan bagi sebagian masyarakat. Beberapa pedagang kecil atau pasar tradisional masih lebih nyaman dengan menggunakan uang kertas pecahan 100 dan 500, sementara mesin vending atau parkir otomatis yang masih menggunakan uang kertas pecahan 100 dan 500 harus ditingkatkan atau diganti dengan yang lebih modern agar dapat menerima uang kertas baru yang diperkenalkan. Namun, secara keseluruhan, penghentian uang kertas pecahan 100 dan 500 diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan keamanan transaksi keuangan di Indonesia.
9. Bank Indonesia Meluncurkan Seri Pecahan Uang Terbaru (Tahun 2016)
Pada tahun 2016, Bank Indonesia meluncurkan seri pecahan uang terbaru yang dilengkapi dengan fitur keamanan yang lebih baik. Seri uang terbaru ini mencakup pecahan Rp. 1.000, Rp. 2.000, Rp. 5.000, dan Rp. 10.000. Pada seri uang terbaru ini, Bank Indonesia memperkenalkan beberapa fitur keamanan baru, seperti hologram empat dimensi, tinta yang berubah warna, dan gambar tangan terlihat saat uang dilihat melalui sinar ultraviolet. Selain itu, serat khusus juga ditambahkan pada bahan pembuatannya untuk memperkuat keamanan.
Seri pecahan uang terbaru ini dirancang untuk mempermudah penggunaan dalam transaksi sehari-hari. Desain yang baru memberikan gambaran tentang kemajuan Indonesia, misalnya gambar wajah Cut Nyak Dien pada pecahan uang Rp. 1.000, gambar Kapal Pinisi pada pecahan uang Rp. 5.000, dan gambar Prasasti Tugu pada pecahan uang Rp. 10.000. Selain itu, Bank Indonesia juga telah memperkenalkan pecahan uang baru senilai Rp. 75.000 yang diluncurkan pada tahun 2020 untuk memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia.
Dari sejarah mata uang Indonesia dari masa ke masa, dapat dilihat bahwa penggunaan mata uang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia bukan?