Fakta Menarik Sistem Pendidikan Indonesia di Masa Kolonial Belanda
Pendidikan zaman Penjajahan Belanda bisa dikatakan menjadi salah satu pondasi berbagai sistem yang berlaku di Indonesia. Dari sekian banyak sistem yang ditinggalkan Belanda di Indonesia, salah satu adalah pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pendidikan bisa dikatakan salah satu poin penting dalam pembangunan negara dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Meskipun begitu, rasanya kita semua layak bersyukur sudah hidup setelah Indonesia merdeka. Mengapa demikian? Hal ini karena kita bisa mengenyam pendidikan dengan layak tanpa adanya unsur tekanan hingga diskriminasi. Tentu saja ini jauh dari kondisi masa penjajahan Belanda dulu, sebab hanya segelintir anak yang bisa masuk ke sekolah. Itupun kebanyakan dari kalangan bangsawan atau elit masyarakat.
Lantas, bagaimana fakta menarik dari sistem pendidikan Indonesia pada masa kolonial Belanda? Lalu, mengapa Belanda mendirikan sekolah di Indonesia? Nah, mari kita simak bersama, berikut adalah fakta menarik dari Sistem Pendidikan Indonesia di Masa Kolonial Belanda:
1. Terbagi Menjadi Kelas Sosial dan Ekonomi
Tahukah kalian bahwa ternyata ada banyak sekali jenis sekolah dasar yang berkembang di Indonesia, lho. Diantaranya adalah Sekolah Ongko Siji yang kemudian menjadi HIS (Hollandsch Inlandsche School), Sekolah Ongko Loro, ELS (Europeesche Lagere School), Sekolah Rakyat atau Volkschool, dan masih banyak lagi.
Nah, masing-masing sekolah mempunyai aturan tersendiri khususnya dalam hal penerimaan siswa. Misalnya, untuk sekolah Ongko Siji ataupun HIS umumnya untuk anak-anak pribumi kalangan menengah ke atas seperti bangsawan, pegawai PNS atau pemerintahan, pegawai perusahaan, dan semacamnya. Ketika masih bernama Sekolah Ongko Siji lama belajarnya 5 tahun, namun kemudian menjadi 6 tahun.
Sementara, ELS merupakan sekolah bagi anak-anak Eropa, Indo, dan beberapa anak pribumi dari kalangan elit bangsawan. Tentu saja hanya sedikit anak pribumi yang masuk dalam sekolah ini dan didominasi oleh kalangan Eropa. Lama belajarnya adalah 6 tahun dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Dari penjelasan di atas, tampak sekali perbedaan kelas yang didasarkan pada bangsa atau warna kulit serta kondisi ekonomi ya? Selain beberapa sekolah di atas masih ada lagi sekolah dasar khusus anak Tionghoa yaitu HCS (Hollandsch Chinesche School) dan HAS (Hollandsch Arabsche School) yaitu sekolah khusus anak-anak keturunan Arab atau Timur Tengah.
2. Tenaga Pengajar Didominasi oleh Orang Belanda
Pada masa kolonial, Kalangan pribumi masih belum sepenuhnya dipercaya untuk mengajar di sekolah-sekolah dirian mereka. Oleh sebab itu, kebanyakan tenaga pengajar di sekolah dasar, menengah, maupun atas berasal dari Eropa, khususnya Belanda. Terlebih jika itu sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya seperti HIS, ELS, ataupun MULO.
Begitu pula sebelum abad ke-20 pemerintah masih banyak mendatangkan guru dari Belanda untuk sekadar mengajar di sekolah rendah semacam ELS. Baru setelah sistem politik etis, banyak merekrut tenaga pengajar dari kalangan pribumi seiring dengan semakin banyaknya sekolah rendah yang berdiri.
Nah, tercatat hanya sekolah tertentu saja yang didominasi oleh guru dari kalangan pribumi sendiri seperti Sekolah Ongko Loro, Sekolah Rakyat, Vervolgschool, dan semacamnya. Adapun jika pengajar pribumi yang masuk di sekolah Eropa semacam ELS seringkali menjadi asisten atau guru bantu.
3. Adanya Sekolah Sambungan
Pada umumnya siswa yang lulus dari Sekolah Rakyat ataupun Sekolah Ongko Loro tidak bisa langsung masuk ke jenjang selanjutnya seperti MULO (Meer Uitgebeid Lagere Onderwijs), setara SMP. Hal ini menambah daftar kerumitan sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial.
Jika mereka ingin melanjutkan, harus masuk ke sekolah sambungan terlebih dahulu (Schakel School) selama lima tahun atau ke Vervolgschool dua tahun. Tujuan sebenarnya supaya mereka belajar dan mampu berbahasa Belanda, mengingat semua jenjang tersebut menerapkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
4. Full Libur di Bulan Puasa
Bukan hanya itu saja, karena ternyata Sistem Pendidikan Indonesia di masa pemerintah kolonial Belanda menghargai suatu hal yang berkaitan dengan adat agama, bukan hanya Kristen namun juga Islam. Hal ini ditandai dengan liburnya sekolah di bulan puasa atau ramadhan bahkan mencapai 40 hari penuh sejak awal hingga pasca lebaran.
Tak hanya itu, pada perayaan Natal pun selalu diliburkan selama 30 hari penuh sejak pertengahan Desember hingga pertengahan Januari. Hal itu sudah menjadi aturan khusus sebagaimana dalam laporan tahunan Dinas Pendidikan, Keagamaan, dan Keterampilan kala itu.
5. Porsi Pelajaran Bahasa Belanda Sangat Banyak
Sejak di sekolah rendah, siswa di ELS maupun HIS sudah diajarkan bahasa Belanda mulai dari membaca, menulis, bercakap dan sebagainya. Porsinya pun sangat banyak dan melebihi pelajaran lainnya seperti menghitung. Ada pula pelajaran geografi juga sejarah seputar negeri Belanda.
Pertanyaannya, mengapa kini Pendidikan di Indonesia tidak lagi mengajarkan bahasa Belanda? Alasannya karena sejak Indonesia dijajah Jepang pada 1942, bahasa Belanda dianggap sebagai musuh. Bahkan, syahdan para pengguna bahasa Belanda semakin berkurang. Pada saat itu pula, Indonesia semakin semangat meraih kemerdekaan. Untuk mempersatukan negara ini, jelas bahasa Indonesia yang lebih “menjanjikan” mulai dikampanyekan.
Lalu, setelah berakhirnya pendudukan Jepang, Indonesia memulai hidupnya dari awal, termasuk membenahi segala sistem berbau penjajah. Nah, sebagai bangsa yang mandiri, bahasa Indonesia dinilai sangat penting untuk mengukuhkan status kedaulatan bangsa ini.
6. Munculnya Sekolah Swasta
Beberapa tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara dan kawan-kawan mendirikan sekolah swasta sebagai “tandingan” sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial yaitu Taman Siswa pada tahun 1930. Namun untuk aturan yang diberlakukan sekolah swasta kadangkala tidak mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah kolonial, bahkan seringkali menentang.
Kurikulum yang diterapkan sifatnya lebih fleksibel yaitu mengedepankan pengetahuan tentang tanah air seperti menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Hal itu bertujuan untuk menangkal nilai pembaratan dalam pendidikan, khususnya bagi masyarakat pribumi.
Mengapa Belanda Mendirikan Sekolah di Indonesia?
Pada 1901, Belanda gencar membuka sekolah bagi kalangan pribumi, khususnya kelas menengah ke bawah. Hal tersebut dilakukan karena membuka sekolah merupakan bagian dari Politik Etis atau upaya balas budi kepada rakyat Indonesia setelah menerapkan sistem tanam paksa.
Bahkan, sejak tahun 1911, Belanda telah menetapkan anggaran khusus untuk membangun sekolah bagi pribumi. Selain sebagai bagian dari Politik Etis, berdirinya sekolah-sekolah buatan Belanda di Indonesia juga untuk mendidik para tenaga birokrat (pegawai negeri), dokter, dan insinyur agar dapat dipekerjakan di perusahaan atau kantor dinas tertentu. Oleh sebab itu, Belanda tidak hanya mendirikan sekolah rendah biasa, melainkan juga sekolah kejuruan.
Jadi, itulah beberapa fakta menarik dari sistem pendidikan di Indonesia pada masa pendudukan Belanda. Seiring berkembangnya zaman, sistem pendidikan nasional kita pun berubah, semakin disempurnakan dan ditingkatkan demi mencerdaskan generasi muda untuk memajukan bangsa. Nah, dengan penjelasan di atas, apakah sistem pendidikan masa kolonial menguntungkan bagi penduduk Indonesia atau justru sebaliknya?